Menarik sekali untuk menperhatikan berbagai tipe dan kisah hidup para peraih Nobel fisika. Ada yang ayahnya peraih Nobel fisika juga seperti Aage Bohr, ada yang ayahnya selalu memberi dia mainan sains seperti ‘t Hooft, ada yang sebelumnya tidak terlalu suka fisika seperti Veltman, ada yang terbujuk untuk pindah dari matematika ke fisika seperti Maria Goepert Meyer, ada yang disekolahnya tidak terlalu menonjol seperti Koshiba, tetapi ada juga yang dari kecil sudah terlihat sangat jenius, dialah Julian Seymor Schwinger.
Schwinger, lahir di New York pada 12 Februari 1918, termasuk salah satu pemuda genius yang sudah menentukan jalan hidupnya sejak masih berusia sangat muda. Ketertarikannya terhadap dunia fisika teori dimulai sejak pertama kali ia terpesona melihat keajaiban dan kemegahan struktur alam semesta, yang menggelitik rasa ingin tahunya yang besar untuk bisa menguraikan misteri yang terkandung di dalamnya.
Schwinger kecil sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dalam menjalani masa sekolahnya di New York yang diselesaikannya dalam waktu sangat singkat. Pada saat ia masih berumur 16 tahun, Schwinger sudah mempublikasikan makalah fisikanya yang pertama sebagai seorang mahasiswa di College of The City of New York (CCNY). Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Columbia University, di bawah bimbingan Profesor Isidor Isaac Rabi, dan mendapatkan gelar Ph.D. pada tahun 1939 saat ia masih berusia 21 tahun (hebat nggak tuh...). Tesis doktoralnya, On The Magnetic Scattering of Neutrons, sudah diselesaikannya dua-tiga tahun sebelum ia mendapatkan gelar tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya Schwinger sempat bekerja di University of California, Berkeley selama 2 tahun sambil bekerja sebagai asisten J. Robert Oppenheimer si pemimpin Manhattan project (itu lho yang buat bom atom Hiroshima dan Nagasaki). Namun karena tidak suka dengan proyek bom atom, tahun 1943 Schwinger meninggalkan Oppenheimer, menuju Boston (Massachussets Institute of Technology) untuk bekerja dengan seorang fisikawan terkenal Uhlenbeck. Di Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini Schwinger terkenal sebagai night research staff karena selalu menyelesaikan berbagai persoalan rumit yang masih tertinggal di meja dan papan tulis rekan-rekan kerjanya pada malam hari saat semua sudah beristirahat (gile nggak tuh ... udah pinter, rajinnya nggak ketulungan......). Para peneliti di MIT ini sangat senang ketika setiap pagi menemukan solusi lengkap atas persoalan yang sedang mereka kerjakan malam sebelumnya. Kemudian pada usia 27 tahun, selesai perang dunia kedua, Schwinger diangkat menjadi associate professor di Harvard University dan pada tahun 1947 di usia 29 tahun ia diangkat menjadi full professor (termuda). Pada tahun yang sama Schwinger menikah dengan seorang gadis dari Boston, Clarice Carrol. Di Harvard University ini Schwinger banyak melakukan penelitian-penelitian hebat. Tahun 1951 ia mengajukan suatu teori tentang adanya neutrino-elektron dan neutrino-muon dan secara luar biasa eksperimen membuktikan keberadaan kedua partikel ini.
Schwinger juga dikenal sebagai pencetus source theory yang berusaha menjelaskan berbagai fenomena fisika dalam suatu kerangka umum. Hal yang luar biasa yang dibuat Schwinger lainnya adalah menjelaskan pergeseran tingkat energi atom hidrogen yang dikenal dengan nama Lamb shift yang telah menjadi teka-teki hampir 20 tahun. Risetnya untuk menggabungkan teori fisika kuantum dengan teori relativistiknya Einstein membuahkan suatu teori baru yang dinamakan Elektrodinamika Kuantum. Menurut Richard Feynman Elektrodinamika Kuantum adalah permatanya fisika (The Jewels of Physics). Teori ini adalah teori fisika yang terbaik yang sangat cocok dengan eksperimen. Dengan teori ini kita mampu mengukur beberapa besaran fisika dengan ketelitian yang tidak tanggung-tanggung, 10 desimal (ini sama saja mengukur jarak Sabang sampai Merauke dengan ketelitian sekitar sehelai rambut) . Hasil risetnya dalam Elektrodinamika Kuantum ini mengantarkannya pada hadiah Nobel di bidang fisika pada tahun 1965, yang diraihnya bersama dua orang fisikawan lain, Richard Philips Feynman (ini juga seorang yang dari kecil sudah dikenal sebagai jenius) dan Sin- itiro Tomonaga, yang melakukan penelitian serupa.Pada tahun 1972 Schwinger bekerja di University of California Los Angeles (UCLA) sampai saat ia meninggal pada 16 Juli 1994. Selama mengajar di sana ia berhasil membimbing lebih dari 70 mahasiswa untuk mendapatkan gelar Ph.D. dan tiga di antaranya berhasil meraih Nobel Prize di bidang fisika (B. Mottelson dan S. Glashow) dan biologi (W. Gilbert). Kuliahnya dikenal sangat tajam, jelas dan original (ia tidak pernah mengulangi kuliah yang sama dua kali). Dalam membimbing mahasiswanya, Schwinger berusaha agar mahasiswanya benar-benar mengerti dan menguasai konsep dasar. Setelah itu ia melepas mahasiswanya untuk berpikir sendiri (tidak tergantung lagi padanya) dalam menelurkan ide-ide cemerlang. Schwinger juga dikenal sebagai seorang genius fisika-matematika pendiam yang memiliki kegemaran yang sangat beragam, termasuk musik terutama piano yang ia pelajari selama bertahun-tahun, cerita-cerita sejarah, dan olahraga tenis dan ski (ternyata fisikawan itu nggak cuman belajar fisika doang yah...). Ia tidak banyak bicara tetapi merupakan seorang pendengar yang sangat baik yang selalu menghasilkan berbagai pemikiran yang sangat dalam. Kadang saking dalamnya pemikiran dia, banyak orang tidak mengerti papernya, sehingga mereka sering komentar ‘Other people publish to show you how to do it, but Julian Schwinger publishes to show you that only he can do it’.
Keberhasilan Julian Schwinger tidak lepas dari kejelian orangtuanya mengamati bakat sang anak. Begitu tahu bahwa Julian Schwinger sangat berbakat dan sangat menyukai fisika dan matematika, orangtuanya memberikan dukungan seluas-luasnya dan mendorongnya terus untuk mengembangkan bakatnya. Dukungan orangtua Schwinger ini membuahkan kesuksesan dan sederetan prestasi selama 60 tahun Schwinger bergelut dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk Einstein Prize, National Medal of Science, Nature of Light Award of The National Academy of Sciences of The United States, dan Nobel Prize for Physics sebagai puncaknya. (Yohanes Surya)
sumber : Blog Prof. Yohanes Surya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar